Minggu, 20 Januari 2008

Mari Membaca Buku Kehidupan


MUSEUM RANGGAWARSITO,
SAATNYA MEMBACA BUKU KEHIDUPAN
Begja-begjane kang lali,
Luwih begja kang eling lawan waspada
(Bagaimana pun bahagianya orang yang lupa diri,
lebih bahagia orang yang masih sadar dan waspada)
(Serat Kalatidha pupuh 7)
Nasihat pujangga besar Ranggawarsita terasa pas didengungkan kembali. Apalagi, napas kehidupan masyarakat saat ini dalam istilah Ranggawarsita disebut sebagai zaman edan. Bencana datang silih berganti. Kegilaan manusia makin menjadi.
Menjadi waspada memerlukan tongkat dan cermin. Cermin terbaik ada dalam sejarah, buku kehidupan. Museum Jawa Tengah Ranggawarsita menawarkan buku terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca kisah sang kala.
Bagai membaca buku, pengunjung diajak berkeliling menelusuri sejarah dengan konsep yang kental dengan budaya Jawa. Ada tiga simbol pewayangan yang menandai perjalanan.
Begitu masuk, pengunjung disambut Gunungan Blumbangan yang menggambarkan kehidupan semesta yang fana dan diwarnai gejala yang saling bertolak belakang. Evolusi alam semesta menjadi bahan perenungan utama. Pergerakan matahari dan planet, serta rekonstruksi kehidupan hewan dan tumbuhan purba, hanyalah contoh kecil.
Gunungan Gapuran melambangkan evolusi manusia, baik fisik maupun psikis yang terpapar gamblang. Perkembangan peradaban yang dipengaruhi mata pencaharian, religi, hingga perebutan kekuasaan dapat dilihat.
Setelah menjelajahi sejarah yang dibeberkan dalam empat gedung, perjalanan diakhiri dengan penampilan sosok Dewaruci di ruangan terakhir. Tokoh pewayangan ini mencari tirta amerta, air kehidupan abadi. Ternyata, kehidupan abadi bukan karena panjang umurnya, melainkan apa yang diserap dari inti kehidupanlah yang menjadi sumber keabadian itu. Mata air ilmu yang ada di Museum Ranggawarsita menanti untuk ditimba.
Selama sepuluh tahun terakhir, pengunjung museum provinsi terbesar di Indonesia ini rata-rata 46.831 orang per tahun. Lebih dari separuhnya adalah siswa TK, SD, dan SMP.
Kepala Museum Jawa Tengah Ranggawarsita, Puji Joharnoto, mengungkapkan, saat ini prioritas utamanya menjadikan museum sebagai tempat belajar dan rekreasi. Joharnoto menyayangkan kurangnya minat masyarakat mengunjungi museum. "Negeri kita masih lekat dengan kultur yang dekat dengan nenek moyang, sehingga memandang museum sebagai hal yang biasa," tuturnya.
Hambatan kultural menantang pihak museum untuk melakukan berbagai inovasi. Apalagi, sejak otonomi daerah, museum berada di bawah pemerintah provinsi. Keleluasaan yang lebih terasa, diiringi tuntutan menyumbang pendapatan asli daerah. Setiap tahun, target pendapatan-dari biaya sewa gedung, tiket masuk, dan karcis parkir sekitar Rp 70 juta dan selama ini selalu terpenuhi.
Bangunan seluas 8.438 meter persegi yang berdiri di atas 2,1 hektar lahan ini menyimpan lebih dari 40.000 koleksi. Namun, hanya sekitar 8.000 koleksi yang dipamerkan. Sisanya dalam perbaikan atau penyimpanan. Buku sejarah yang penuh dengan ilmu itu masih menanti pembacanya. Sayang jika dibiarkan sendirian, lengang, dan usang.
(dimuat di Kompas Edisi Jawa Tengah, 21 Oktober 2005)

Tidak ada komentar: