Jumat, 25 Juli 2008

Satu Siang yang Luar Biasa


Ekstrimitas terkadang menjadi sesuatu yang mengesankan.

Duduk di tembok rendah panjang yang biasa ada untuk membatasi teras ruang-ruang kelas di sekolah (aku biasa menyebutnya dalam bahasa Jawa, buk) aku menyaksikan keseharian yang membangun kesan dalam di benak.

Melihat ke arah sebelah kiri bangunan di mana aku duduk di terasnya, ada bangunan kantor yang diperuntukkan bagi para guru dan kepala sekolah. Di terasnya ada beberapa orang guru yang sedang berbincang diselingi cengkerama selepas jam sekolah. Ramai di sudut itu.

Melihat lurus ke depan ada bangunan kelas sederhana setelah halaman berpohon jarang. Di depannya anak-anak berseragam putih-biru masih asyik mengobrol dalam kelompok-kelompok. Sebagian berbincang dengan serius, sebagian lainnya berbincang santai dan tertawa-tawa. Ramai juga di sudut itu.

Lalu apa yang aneh dan ekstrim?
Pada keduanya aku bisa melihat keramaian dan keceriaan.
Pada keduanya aku melihat percakapan yang seru.
Indera penglihatanku mengesankan hal yang sama.
Tapi, tidak begitu pada indera pendengaranku....
Di sudut kiri aku melihat sekaligus mendengar serunya percakapan itu.
Interaksi yang diwakili bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan suara.
Di sudut depan aku melihat.....hanya melihat...interaksi yang terwakili bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Tidak mendengar suara.
Di sudut itulah aku melihat keramaian dalam hening.
Luar biasa....
Lama-lama justru keheningan mereka yang menyedot konsentrasiku. Suara-suara nyata yang keluar dari arah kiri menjadi samar.
Luar biasa....
Mereka saling bercerita, mengejek, dan pura-pura berkelahi....dalam ceria.
Akhirnya keheningan yang mengesankan itu bubar.
Satu per satu saling berpamitan dan berjalan ke luar kompleks sekolah yang tersudut oleh kapitalisme itu.
Beberapa berjalan lewat di depanku.
Dan aku masih tertegun.

Beberapa saat kemudian, sepi dalam arti sesungguhnya...tanpa suara di sekelilingku.
Dan di dalam ruangan di mana di depannya aku duduk dari tadi, aku melihat papan pajang yang penuh tempelan gambar yang diwarnai. Kali ini oleh anak-anak yang sepertinya lebih kecil yang berseragam putih-merah. Mungkin dengan kelebihan yang berbeda...

Jadi terngiang kalimat yang diucapkan ibu kepala sekolah yang cekatan.
Siang itu dia berkata,"Di sekolah ini, berkumpul dengan anak-anak yang orang bilang cacat. Saya justru belajar banyak. Belajar mensyukuri nikmat Tuhan."

Ya.....bersyukur.
Tidak mudah untuk mampu mensyukuri apapun.
Tapi setidaknya, siang itu aku melihat dan merasa....betapa mereka tetap ceria dengan semua yang mereka miliki.
Sebuah bentuk nyata syukur.

Senin, 21 Juli 2008

Tak Bosan Santap Nasi Megono Pekalongan





Tiga piring berisi masing-masing jenis makanan yang berbeda. Tapi, ketika ketiganya disatukan melalui sendok dan garpu di mulut, semua sensor rasa yang ada akan mengecap dan mendefinisikannya dalam satu kata utama...ENAK!


Searah jarum jam, di piring pertama ada tempe mendoan khas kota itu. Ukurannya termasuk besar, rasanya gurih dan krispi karena digoreng model keras.

Piring kedua nasi putih dan megono. Jenis makanan ini banyak ditemui di sepanjang pantura barat Jawa Tengah terutama Pekalongan dan Tegal. Megono terbuat dari nangka muda yang biasa disebut gori, dicacah halus kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu (kata ibu mertua mbakku yang sempet bikinin megono pas kita datang ke rumahnya di pelosok Batang, pake bumbu gudangan) dan kelapa parut. Semuanya dikukus sampai matang. Rasanya gurih banget. Sudah enak kalo di makan ama nasi anget aja....

Piring ketiga, garang asem. Di sini garang asemnya pake daging berlemak (gajih-dlm bahasa Jawa) dipotong besar. Kuahnya bening dan segeeer bangeet. Keknya sih itemnya bukan karena kecap (kek garangasem Semarang bikinan Ibuku tersayang dulu). kalo ga salah pake kluwak kali yaa (nebak2 asal), soalnya itemnya ga kotor n ga menimbulkan rasa lain yang menonjol, masih menang rasa kecut segar dari asam-tomat-blimbing wuluh. Yang jelas....garang asemnya ngangenin...

Ketiganya bisa ditemukan di alun-alun Kota Pekalongan, tepatnya di sisi kiri alun-alun kalo posisi kita berdiri di depan Masjid Agung. Di pangkalan travel di Pekalongan. Namanya Warung Pak Masduki. Legendaris banget...

Seingatku aku udah pernah makan di situ tiga kali. Pertama kali ke situ di ajak temen baru pas makan sore sebelum aku naik bis ke Tegal. Temen dari salah satu LSM pecinta lingkungan di Kota Pekalongan itu adalah temen dari temen wartawan yang ngepos di Tegal. Kebetulan aku harus ambil data ke Pemkab Pekalongan, yang ternyata Kompleks Perkantoran Pemkabnya baru bikin di kawasan Kajen yang gila2an jauhnya dari pusat Kota Pekalongan. Jadi dengan baiknya temen baruku itu nunggu aku yang dateng dari Tegal ke pusat kota Pekalongan. Trus kita berdua boncengan ke Kajen yang berpuluh kilometer jauhnya. Pakai acara kehujanan segala. Nah, abis itu aku diajak ke basecamp mereka di salah satu sudut kota Pekalongan yang berbau idealisme. Karena sorenya kudu balik ke Tegal itu baru aku di anter ke pangkalan bis, tapi dengan temen yang lain lagi n sebelumnya dia ajak aku makan di situ..Makasih banget yaaa ;)

Yang kedua n ketiga sih baru 2 bulan terakhir ini sama temen-temen kantor Tim Saujana Pabrik Gula (ciyee....nama timnya keren juga nih). Bedanya, kali ini semunya dibayarin bos hahahahaha. Tapi teteeep, menu yang dipesan sama: Teh anget, nasi megono, garang asem, n tempe mendoan ;)

Nasi Megono Pekalongan memang oyeee ;)

Jumat, 11 Juli 2008

mainan-mainan de





Ketiga benda unik ini memiliki kisahnya masing-masing. Kisah yang bermuara pada satu orang...de. Ini hanya sebagian kecil dari "mainan" yang dikumpulkannya dengan sengaja ato tanpa sengaja.
De suka menyebut barang-barang itu dengan "mainan". kenapa? karena dengan merekalah dia bisa menghabiskan waktu berlama-lama. Membersihkannya ato memperbaikinya. Ato hanya sekadar melewatkan waktu dengan mengamatinya.
Blek krupuk warna hitam itu sebelumnya ditemukan berwarna lain dengan karat di beberapa titiknya. Dengan modal amplas, pilox hitam, kuas, n cat minyak putih...barang "rongsokan" itu disulap seperti itu. Bodi luarnya diwarna hitam solid sementara list kaca n sekujur bodi dalamnya dicat putih. Senang banget dia pas akhirnya nemu barang ini. Tapi...perburuan belum selesai. De masih mengincar blek krupuk dengan kaca di semua sisinya. Beberapa warung makan udah dirayu tapi belum ada yang tembus...hehehehehe.
Radio yang pertama, penuh dengan kerahasiaan.
sms1: "aku dapat mainan yang bisa bunyi...."
pas ditanya apakah itu, dijawab dengan:
sms2: "rahasia..hrs liat sendiri.."
Malamnya, ketika sudah sampai di rumah de yang sudah siap di depan laptop tidak bersegera melanjutkan menulisnya. Ternyata dia menungguku menanyakan mainan barunya. Padahal, aku melihat ada sesuatu yang ditutup koran di atas lemari....tapi aku tidak tanggap. Hahahahaha....maafkan aku (sekali lagi karena tidak peka), de ;). Langsung deh diperdengarkan itu radio tua. hahahaha....de, ternyata ada lagu Radja yang baru di radio tua ya ;p
Radio yang kedua, datang hanya sehari setelah radio yang pertama. Yang ini tidak usah dicolok listrik karena menggunakan baterai. Tadi pagi sembari bersiap sebelum keluar rumah, kami mendengarkan pidato Gubernur Jateng Ali Mufiz dari radio tua. Kapan lagi mendengarkan sidang DPRD itu kalau tidak dengan jalan ini?
Siang ini ketika telp...ternyata de membawa pulang televisi kecil kuno pemberian dari temannya.
Sore ini ketika telp...ternyata de membawa pulang kipas angin yang katanya unik.
Kedua mainan baru itu belum aku lihat.....
Hehehehehehe.....apa mau dikata?