Minggu, 10 Mei 2009

Yang Pertama




ini seperti memasak sepanci sayur asem kesukaan de.

macam-macam sayuran dipotong dan dimasukkan ke dalam panci.
kacang panjang dan kacang tanah yang renyah dan gurih,
jagung manis yang tentu saja segar,
melinjo kesukaan de,
dan daun so sebagai pelengkap.
sayuran yang berbeda-beda.

untuk menciptakan rasa, bumbu-bumbu penentu harus dicampurkan.
buah asam jawa yang terasa asem,
bawang putih yang terasa getir,
bawang merah yang terasa pedas di mata,
cabe merah yang pedas,
cabe hijau yang sayang jika ditinggalkan,
tomat yang segar,
serta yang terpenting rasa asinnya garam dan manisnya gula pasir.

semua bumbu itu menciptakan rasa dari perpaduan sayur-sayuran yang direbus tadi.
seringkali terasa nikmat dan pas di lidah dan perut,
tapi terkadang ada saat ketika tidak enak terasa.

semua rasa itu harus dinikmati
seperti juga tumpahan tawa, air mata, dan emosi yang teraduk yang menjadi bumbu dalam masakan hari-hari yang kita lalui setahun ini.
yang saat ini nikmat terasa....

happy our 1st anniversary
ketika cinta penuh rasa, inilah energi kita tuk menua bersama

100508-100509

Sabtu, 02 Mei 2009

an empty hole



Tiba-tiba rasa panas muncul di antara dada dan tenggorokan. Rasa yang secepat kilat merembet ke mata, air menggenang memenuhinya. Melalui lensa mata yang berair aku melihat adik perempuanku juga menangis di depan sana, di kursi pelaminannya.
Pertanyaan muncul di benak, apakah penyebab dia menangis saat perjanjian seumur hidup dengan seorang lelaki sedang berlangsung sama dengan alasanku menangis di momen yang sama dulu?
Tapi, kenapa ya dulu tangisan itu tak tertahankan? Hmm...bahagia? pastinya ada rasa itu. Apalagi, aku akhirnya menikah dengan lelaki itu dengan cara dan prosesi yang kami inginkan. Juga, bahagia karena kehadiran sahabat-teman yang juga keluargaku dari penjuru tempat. Namun, bukan itu yang menjadi penyebab utamanya. Sedih, lebih tepatnya. Rasa yang jauh sebelumnya aku tahu itu akan muncul di momen itu.
Ketidakhadiran Ibu lah yang membuat sebagian besar tangis itu tertumpah. Selalu ada tempat yang kosong dalam setiap momen yang kulalui, dan inilah puncaknya. Pemilihan tempat prosesi saat itupun sebenarnya untuk mengisi kekosongan itu. Rumah, halaman, masjid, termasuk dua pohon mangga besar yang menjadi setting adalah juga milik beliau dulu. Berusaha merasakan kehadirannya justru semakin membobol pertahanan air di mata.
Cukup tentangku. Mungkin benar seperti komentar mbakku.Menurutnya yang banyak menangis adalah mereka yang berhubungan dekat dengan pihak ibu pengantin, yang sudah tidak ada. Dan, sore itu selain adik perempuanku, sang pengantin, kami saudaranya, keluarga dari pihak ibu, dan bapak, tidak bisa menahan tangisnya. Begitupun, sang pengantin laki-laki, bapaknya, dan beberapa anggota keluarga, yang kami duga juga adalah keluarga dari pihak ibu pengantin laki-laki yang sekali lagi juga telah tiada.


For my mommy,
maafkan kami...kami tidak bisa untuk tidak merindukanmu...

Sabtu, 25 April 2009

urgent....

Hoaaaaaahhhhh........
i need a time out......
time for me n myself

time for looking inside,
staying there for a while..

to find again what have been missing,
my vertical line.

Minggu, 08 Maret 2009

Catatan Urbaner

Sekarang aku bisa disebut kaum urban bagi Jakarta.

Mau nggak mau demi tuntutan pekerjaan. Maklum, namanya masih buruh ya tidak ada kata “tidak” untuk perintah pabrik.

Adaptasi menjadi agenda utama. Banyak sekali yang harus diadaptasi tanpa harus merasa terkaget-kaget dengan kondisi di tempat baru. Rasakan ini sebagai sesuatu yang memang ‘harus’ dirasakan.

Mari kita daftar hal-hal yang berbeda antara kondisi dan kebiasaan sewaktu masih di Semarang—ibukota Provinsi Jawa Tengah—dengan ketika di Jakarta—ibukota Republik Indonesia.

Semarang >< Jakarta
1. Bangun siang, tidur larut >< Bangun pagi, tidur tidak selarut sebelumnya.
2. Berangkat agak siang, pulang malam banget >< Berangkat pagi, pulang lebih sore.
3. Waktu kerja tak teratur >< Waktu kerja lebih teratur.
4. Pulang kantor jalanan sepi >< Pulang kantor jalanan penuh.
5. Kantor bagaikan rumah >< Kantor ya kantor, rumah ya rumah.
6. Menonton tivi sambil bekerja di kantor >< Menonton tivi lebih banyak di rumah.
7. Amat sangat jarang nonton sinetron >< Mulai sering nonton sinetron (please…wake up!! Maap lagi euforia).
8. Libur sama dengan tidur >< Libur sama dengan “kemana ya kita?”.
9. Nunggang motor all the time >< Nebeng angkot mostly.
10. Jarang jalan kaki >< Banyak jalan kaki.
11. Berangkat mepet-mepet waktu >< Berangkat berlama-lama sebelumnya.
12. Makan tanpa mikir tempat >< Makan mikir ‘tempat-bahan baku-pengolahan-harga”.
13. Aman di kota sendiri >< Waspada sama orang-orang dan tempat-tempat.
14. Tenang tanpa prasangka >< Lebih banyak berprasangka buruk.
15. Jarang telpon sodara >< Lebih sering kontak-kontakan dengan sodara (maklum…jauh).
16. Sangat sering telpon suami >< Lebih jarang telpon suami (ya iyalah…namanya juga udah serumah).

Jakarta memang mesin. Bergerak cepat dan ‘memaksa’ semua yang terikat dengannya juga ikut bergerak cepat. Dalam dunia ‘serba bergegas’ ini sangat berharga untuk memiliki tempat privasi yang nyaman ditemani orang yang juga membuat kita nyaman. Agar, dalam ‘gerak yang padat’ ini kita tetap bisa merasakan nikmatnya ‘melambat’.
Menyeimbangkan timbangan keseharian.

Celebes: It’s all about banana!






Di sini di Celebes ini, pisang mendapatkan pasangan yang sangat bervariasi. Dari ujung Mamuju sampai Makassar, setidaknya ada empat macam olahan pisang sebagai camilan yang sempat aku nikmati. Itu yang kebetulan ketemu, entah dengan variasi apa lagi kalau mau benar-benar mencarinya.

Tiga dari empat variasi camilan pisang itu berupa gorengan pisang. Sisanya, pisang yang dibakar. Rasanya tidak seragam karena pasangannya pun berbeda-beda. Mari kita ingat-ingat bagaimana rasanya. Maklum ini sebenarnya oleh-oleh sebulan yang lalu saat perjalanan sesi pertama ke sini.

Pisang goreng ala Bu Syarif di Mamuju membuat inderaku terkesan. Pisang dibelah menjadi dua tepat di tengahnya. Masing-masing kemudian digoreng kering setelah sebelumnya dilapisi adonan tepung tipis. Pisang yang menjadi renyah ini lalu ditaburi palm sugar atau gula pasir coklat. Tidak berhenti di situ, parutan keju ditaburkan di atasnya. Renyah dan manis-gurihnya pisang goreng melekat dengan manis khas dari palm sugar yang terasa saat butir-butir gula tergigit dan tersentuh lidah. Rasa gurih keju menjadi penyeimbang rasa. Camilan sore itu memang juara. Selain rasanya enak, cantik pula dipandang mata. Kuning kecoklatan dari pisang dihiasi butir-butir gula coklat dan parutan keju yang cerah. Perfecto!

Camilan pisang goreng selanjutnya tersaji waktu mampir ke kantor penyelenggara pemilu di Polewali Mandar. Goreng pisangnya mirip dengan yang biasa kita temui. Pisang dibelah tapi tidak sampai terputus dan dibentuk seperti kipas lalu digoreng dengan tepung. Rasanya pun biasa, manis-gurih. Yang berbeda adalah pasangannya. Semacam sambal yang unik. Campuran gula merah, cabai, dan asam. Pasti sudah terbayang rasanya. Manis, pedas, masam. Waktu itu dengan perpaduan yang tepat. Cara makannya pisang goreng tadi kita cocolkan ke sambalnya. Rasa baru yang menantang!

Yang satu ini ditemukan di kawasan pantai di Pare-pare. Pisang goreng berbalut tepungnya masih sama. Sama juga dengan yang di Polman dipasangkan dengan semacam saus. Ketika membeli pisang goreng di sini kita akan mendapat saus kuning dalam plastik. Tapi sayang, si penjual yang cantik waktu itu tidak bisa menerangkan dari campuran apa saja saus penyerta pisang jualannya tersebut. Yang jelas rasanya masam, sepertinya masam dari jeruk nipis karena ada biji-bijinya yang terangkut. Ada sedikit rasa gurih dalam saus itu, cuma sekali lagi sayang aku tidak tahu apa itu. Buat indera perasaku, perpaduan pisang goreng dan saus kuning ini aneh. Hmm…

Yang terakhir, bukan pisang goreng melainkan pisang bakar. Banyak ditemukan di sepanjang kawasan Pantai Losari, Makassar. Nama yang tertempel di kaca gerobak penjualnya “Pisang Epe”. Membeli camilan pisang ini harus sedikit sabar. Pasalnya, setelah kita memesan sang penjual baru akan mengambil pisang dari tumpukan yang sudah dibakar sebentar dan membakarnya lagi di atas bara. Setelah dirasa cukup, pisang terbakar tadi dipres di antara dua potong kayu persegi. Teringat perlakuan yang mirip juga di Semarang, tapi di sana dengan sebutan “pisang plenet”. Setelah bentuknya menjadi lebih pipih, pisang disajikan dengan beberapa alternatif penambah rasa. Terserah kita. Ada larutan gula merah (di Semarang disebut “kinco”, di Solo disebut “juruh”). Ada keju. Ada pula meisis coklat. Waktu itu aku pesan lengkap, dengan gula merah, keju, dan meisis. Rasanya terbayang lah kalo yang ini. Perpaduan gurih, manis gula merah, dan manis coklat. Perlu diperhatikan komposisinya. Waktu itu porsiku terlalu banyak gula merahnya jadi gurihnya pisang dan keju jadi terkalahkan. Maniiis hehehehehe….

Pisang-pisang dan pisang……

Kamis, 05 Februari 2009

Celebes: Anjoro Mangura


Anjoro mangura. Dua kata itulah yang dicetak tebal dengan huruf besar di atas kain panjang seukuran spanduk yang sekaligus sebagai latar belakang warung semi permanen di tepi salah satu pantai di Selat Makassar.

Malam itu, menikmati anjoro mangura menjadi agenda yang dibuat keluarga Syarif untuk menjamuku. “Ya biar nanti ada yang bisa diceritakan sama Mas-nya di sana,” kata Pak Syarif saat melontarkan ajakan. Lalu, apa sebenarnya anjoro mangura itu? Anjoro mangura ternyata kata-kata yang digunakan orang (setidaknya) Mamuju, Sulawesi Barat, untuk menyebut ‘kelapa muda’.

Sama seperti di daerah asalku—Jawa—minuman ini berisi air dan serutan daging buah kelapa yang masih muda. Sama seperti di sana juga, minuman ini ditawarkan bisa dengan pemanis gula merah atau sirup. Sama juga pada kelaziman penyajiannya, yaitu dalam kondisi dingin karena ditambahi es.

Tapi ternyata, setelah segelas anjoro mangura terhidang di depan mata beda-beda bermunculan. Yang pertama terlihat ada bersama sepiring camilan pendamping—kali ini kacang goreng. Pembeda itu adalah irisan jeruk nipis yang siap peras. Artinya, minuman ini (aturannya) dicampur dengan perasan jeruk nipis sebagai penyegar. Hmm..sepertinya cocok apalagi ketika melihat pekatnya air dalam gelas karena cairan gula merah.

Air perasan seiris jeruk nipis masuk ke gelas. Niat hati mau meratakan rasa masamnya yang segar dengan adukan sendok, tak disangka pembeda berikutnya terlihat. Tidak hanya serutan daging buah kelapa muda saja yang ada di dalam gelas, melainkan juga butiran-butiran sagu. Sagu, pemirso!!

Butiran sagu terasa lembut di mulut. Serutan daging kelapa mudanya juga terasa….hmm….rasa kelapa muda memang beda. Lembut sekaligus gurih dan rasa lain yang susah dideskripsikan dengan diksiku yang terbatas. Rasa yang sangat istimewa di lidah. Gula merah cair pun mempermanis kombinasi tadi sementara perasan jeruk nipis berhasil mempersegar rasa. Komposisi yang pas terasa, apalagi disajikan dingin.

Minuman yang segar, udara dan angin pantai yang nyaman, serta keluarga baru yang menyenangkan, adalah perpaduan yang tepat. Kenangan yang ingin diulang.


Jumat, 23 Januari 2009

Celebes: Ikan Rebus ala Mandar





“Tante, ini cabainya seberapa?,” tanya Tegar sambil menyisihkan cabai-cabai yang menurutnya masih bagus. Tante yang dimaksudnya adalah Bu Syarif, ibu si Ical teman baruku. Di rumah merekalah kemudian aku tinggal selama di Mamuju.

Bu Syarif lalu memberikan petunjuknya, petunjuk penyiapan bumbu-bumbu untuk masakan siang itu. Waktu dua jam istirahat yang diberikan kantornya—salah satu kantor pemerintahan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat—dimanfaatkan untuk menyiapkan makan siang buat keluarga, terutama Bapak Syarif yang kurang menyukai makanan selain masakan sang istri.

Siang itu, Ibu dibantu Tegar dan Ayu—putri terkecilnya yang cekatan. Aku yang semula berniat membantu berubah menjadi pengamat dan penanya yang cerewet tentang apa yang sedang mereka siapkan.

Titik alih itu dimulai saat Ibu meminta Ayu mengambil asam mangga dan merendamnya. Asam mangga? Apa pula itu? Ternyata itu adalah serutan atau potongan tipis memanjang buah mangga yang masih masam. Potongan mangga itu diberi garam lalu dijemur sampai kering. Kalau mau dipakai sebagai bumbu masak, asam mangga direndam terlebih dahulu dengan air. Rasanya lembut dan masam. Kata Ibu, asam mangga inilah yang digunakan di daerah itu untuk memberi rasa masam pada masakan. Di situ tidak lazim menggunakan buah asam seperti di Jawa. Menarik…..

Asam mangga yang air rendamannya sudah dibuang dicampur dengan ulekan cabai merah, merica, dan bawang putih serta irisan onclang dan bubuk kunyit. Tidak berhenti sampai disitu, minyak goreng dituangkan setengah merendam campuran bumbu tadi.

Setelah mengambil semacam panci bertelinga terbuat dari tanah liat, di atasnya Ibu menata beberapa ekor ikan tatombo yang sudah dibersihkan sebelumnya. Bumbu-bumbu tadi disebar di atas ikan-ikan tatombo yang sudah rapi terbaring. Air kemudian dituangkan merendam semuanya dan ditunggu sampai mendidih. Garam sebagai penguat rasa ditambahkan. Setelah ikan dirasa sudah matang dan bumbu telah merasukinya, makanan pun siap.

Ketika aku tanya nama masakan itu, jawab Ibu,”Ini namanya ikan pi api”. Tegar ikut menambahi kalau masakan ikan pi api ini pun bisa memakai ikan bolu (ternyata itu nama lainnya ikan bandeng). Masakan ikan pi api ini menurut Ibu adalah salah satu masakan orang Mandar. Tak heran karena Bapak adalah orang Mandar. Seminggu kemudian seorang teman di Majene bilang masakan ini bisa disebut “bau pe api” artinya ikan direbus.

Ups! Sudah mengisahkan proses pemasakan dan namanya, belum juga menggambarkan rasanya. Hmm…kuahnya segar. Rasa segar yang timbul karena masakan tanpa santan dan asam mangganya tadi. Rasa asam mangga yang menghasilkan kemasaman pencipta segar ini berbeda tingkatnya dengan kemasaman asam Jawa. Coba saja rasakan masakan yang terlalu banyak menggunakan asam Jawa, rasa masamnya bisa mencapai tingkat sangat masam dan meninggalkan rasa kecut di lidah dan tenggorokan. Ini berbeda, mungkin karena masam mangganya sudah diturunkan derajatnya saat pengeringan. Yang jelas…segar! Segarnya kuah juga dihiasi pedas cabai yang menambah kenikmatan.

Itu baru kuahnya. Daging ikan tatombo yang padat terasa gurih saat masuk ke mulut. Ikan segar langsung dari laut—sebelum terkena proses pendinginan—memang terasa lebih gurih. Apalagi, laut asal ikan-ikan inipun bisa dibilang lebih bebas polusi dibandingkan ikan-ikan tangkapan dari Laut Jawa yang menjadi muara banyak bahan pencemar.

Ikan yang enak dan kuah yang segar jelas tidak merusak definisi “nikmat”-nya makanan di perjalanan kuliner yang (diusahakan) selalu terselip dalam setiap perjalananku. Kali ini di Mamuju me-“nikmat”-i masakan Mandar.

Celebes: Menyusuri Sulawesi Bagian Barat


Bandara Sultan Hasanudin Makassar menjadi tempat pertama yang aku injak di Pulau Sulawesi.
Pulau yang semula hanya sebatas wujud dua dimensi peta dan foto ataunwujud tiga dimensi gambar-gambar liputan di televisi.
Bandara ini menjadi titik awal perjalananku di Sulawesi bagian barat.
Daerah-daerah di pinggir Selat Makassar dalam waktu hampir dua minggu ini harus aku susuri.
Banyak kisah yang terangkum.
Banyak tali silaturahim yang terajut.
Banyak pelajaran yang terengkuh.

Seru

Reses

Hmm...udah sebulan ga sempet ngisi ni kamar.
Lagi sok sibuk berat...
Masa transisi yang lumayan hectic.
Isi rumah Semarang udah masuk rumah Jakarta.
Udah sempet rapiin sih, cuman belum siap kalo mo ditinggali lama.
Ni lagi di ketinggian bermeter-meter di atas permukaan tanah.
Di lantai 9 santika, di sebelah kiri ada jendela dengan harbour view-Pelabuhan Makassar.
Udah siang di sini.
Hmm...banyak hal yang harus dikerjakan.
Hoaaaaaah!!!!!