Minggu, 08 Maret 2009

Catatan Urbaner

Sekarang aku bisa disebut kaum urban bagi Jakarta.

Mau nggak mau demi tuntutan pekerjaan. Maklum, namanya masih buruh ya tidak ada kata “tidak” untuk perintah pabrik.

Adaptasi menjadi agenda utama. Banyak sekali yang harus diadaptasi tanpa harus merasa terkaget-kaget dengan kondisi di tempat baru. Rasakan ini sebagai sesuatu yang memang ‘harus’ dirasakan.

Mari kita daftar hal-hal yang berbeda antara kondisi dan kebiasaan sewaktu masih di Semarang—ibukota Provinsi Jawa Tengah—dengan ketika di Jakarta—ibukota Republik Indonesia.

Semarang >< Jakarta
1. Bangun siang, tidur larut >< Bangun pagi, tidur tidak selarut sebelumnya.
2. Berangkat agak siang, pulang malam banget >< Berangkat pagi, pulang lebih sore.
3. Waktu kerja tak teratur >< Waktu kerja lebih teratur.
4. Pulang kantor jalanan sepi >< Pulang kantor jalanan penuh.
5. Kantor bagaikan rumah >< Kantor ya kantor, rumah ya rumah.
6. Menonton tivi sambil bekerja di kantor >< Menonton tivi lebih banyak di rumah.
7. Amat sangat jarang nonton sinetron >< Mulai sering nonton sinetron (please…wake up!! Maap lagi euforia).
8. Libur sama dengan tidur >< Libur sama dengan “kemana ya kita?”.
9. Nunggang motor all the time >< Nebeng angkot mostly.
10. Jarang jalan kaki >< Banyak jalan kaki.
11. Berangkat mepet-mepet waktu >< Berangkat berlama-lama sebelumnya.
12. Makan tanpa mikir tempat >< Makan mikir ‘tempat-bahan baku-pengolahan-harga”.
13. Aman di kota sendiri >< Waspada sama orang-orang dan tempat-tempat.
14. Tenang tanpa prasangka >< Lebih banyak berprasangka buruk.
15. Jarang telpon sodara >< Lebih sering kontak-kontakan dengan sodara (maklum…jauh).
16. Sangat sering telpon suami >< Lebih jarang telpon suami (ya iyalah…namanya juga udah serumah).

Jakarta memang mesin. Bergerak cepat dan ‘memaksa’ semua yang terikat dengannya juga ikut bergerak cepat. Dalam dunia ‘serba bergegas’ ini sangat berharga untuk memiliki tempat privasi yang nyaman ditemani orang yang juga membuat kita nyaman. Agar, dalam ‘gerak yang padat’ ini kita tetap bisa merasakan nikmatnya ‘melambat’.
Menyeimbangkan timbangan keseharian.

Celebes: It’s all about banana!






Di sini di Celebes ini, pisang mendapatkan pasangan yang sangat bervariasi. Dari ujung Mamuju sampai Makassar, setidaknya ada empat macam olahan pisang sebagai camilan yang sempat aku nikmati. Itu yang kebetulan ketemu, entah dengan variasi apa lagi kalau mau benar-benar mencarinya.

Tiga dari empat variasi camilan pisang itu berupa gorengan pisang. Sisanya, pisang yang dibakar. Rasanya tidak seragam karena pasangannya pun berbeda-beda. Mari kita ingat-ingat bagaimana rasanya. Maklum ini sebenarnya oleh-oleh sebulan yang lalu saat perjalanan sesi pertama ke sini.

Pisang goreng ala Bu Syarif di Mamuju membuat inderaku terkesan. Pisang dibelah menjadi dua tepat di tengahnya. Masing-masing kemudian digoreng kering setelah sebelumnya dilapisi adonan tepung tipis. Pisang yang menjadi renyah ini lalu ditaburi palm sugar atau gula pasir coklat. Tidak berhenti di situ, parutan keju ditaburkan di atasnya. Renyah dan manis-gurihnya pisang goreng melekat dengan manis khas dari palm sugar yang terasa saat butir-butir gula tergigit dan tersentuh lidah. Rasa gurih keju menjadi penyeimbang rasa. Camilan sore itu memang juara. Selain rasanya enak, cantik pula dipandang mata. Kuning kecoklatan dari pisang dihiasi butir-butir gula coklat dan parutan keju yang cerah. Perfecto!

Camilan pisang goreng selanjutnya tersaji waktu mampir ke kantor penyelenggara pemilu di Polewali Mandar. Goreng pisangnya mirip dengan yang biasa kita temui. Pisang dibelah tapi tidak sampai terputus dan dibentuk seperti kipas lalu digoreng dengan tepung. Rasanya pun biasa, manis-gurih. Yang berbeda adalah pasangannya. Semacam sambal yang unik. Campuran gula merah, cabai, dan asam. Pasti sudah terbayang rasanya. Manis, pedas, masam. Waktu itu dengan perpaduan yang tepat. Cara makannya pisang goreng tadi kita cocolkan ke sambalnya. Rasa baru yang menantang!

Yang satu ini ditemukan di kawasan pantai di Pare-pare. Pisang goreng berbalut tepungnya masih sama. Sama juga dengan yang di Polman dipasangkan dengan semacam saus. Ketika membeli pisang goreng di sini kita akan mendapat saus kuning dalam plastik. Tapi sayang, si penjual yang cantik waktu itu tidak bisa menerangkan dari campuran apa saja saus penyerta pisang jualannya tersebut. Yang jelas rasanya masam, sepertinya masam dari jeruk nipis karena ada biji-bijinya yang terangkut. Ada sedikit rasa gurih dalam saus itu, cuma sekali lagi sayang aku tidak tahu apa itu. Buat indera perasaku, perpaduan pisang goreng dan saus kuning ini aneh. Hmm…

Yang terakhir, bukan pisang goreng melainkan pisang bakar. Banyak ditemukan di sepanjang kawasan Pantai Losari, Makassar. Nama yang tertempel di kaca gerobak penjualnya “Pisang Epe”. Membeli camilan pisang ini harus sedikit sabar. Pasalnya, setelah kita memesan sang penjual baru akan mengambil pisang dari tumpukan yang sudah dibakar sebentar dan membakarnya lagi di atas bara. Setelah dirasa cukup, pisang terbakar tadi dipres di antara dua potong kayu persegi. Teringat perlakuan yang mirip juga di Semarang, tapi di sana dengan sebutan “pisang plenet”. Setelah bentuknya menjadi lebih pipih, pisang disajikan dengan beberapa alternatif penambah rasa. Terserah kita. Ada larutan gula merah (di Semarang disebut “kinco”, di Solo disebut “juruh”). Ada keju. Ada pula meisis coklat. Waktu itu aku pesan lengkap, dengan gula merah, keju, dan meisis. Rasanya terbayang lah kalo yang ini. Perpaduan gurih, manis gula merah, dan manis coklat. Perlu diperhatikan komposisinya. Waktu itu porsiku terlalu banyak gula merahnya jadi gurihnya pisang dan keju jadi terkalahkan. Maniiis hehehehehe….

Pisang-pisang dan pisang……