Rabu, 26 November 2008

Cermin terang


Tubuhnya ramping. Tingginya tidak lebih dari aku. Rambutnya yang ikal dipotong sebahu. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya siang itu, perempuan itu termasuk orang yang memerhatikan penampilan. Celana kain panjang warna coklat gelap dipadu dengan blus lengan panjang bermotif bunga-bunga besar berwarna senada. Di luarnya, jaket coklat berbahan kain sampai setengah paha menutup tubuh. Alas kaki yang tak bersuara saat melangkah melengkapi penampilannya.
Aku memilih duduk di sebelahnya karena kursi lainnya masih kosong. Mengantri menjadi kegiatan kami bersama siang itu. Kami berdua duduk di deretan kursi yang saling bersambung menempel di tembok. Sudut lorong itu masih sepi. Pintu-pintu ruang di depan dan samping kami tertutup. Hanya tembok berwarna hijau telur asin dan lampu di langit-langit serta kesejukan buatan yang menemani.
Ternyata, perempuan itu sedang menunggu giliran konsultasi dengan dokter yang berbeda denganku. ”Saya itu akhir-akhir ini gampang sakit. Trus sama dokternya kok malah dirujuk ke sini, ke psikiater,” katanya.
Perempuan yang aku taksir berumur sekitar 60-an tahun ini kemudian berkisah. Dia masih tidak habis pikir rujukan dokternya agar dia berkonsultasi ke psikiater. Tak yakin kalau penyebabnya adalah kematian suaminya dua tahun lalu. Menurutnya, akhir-akhir ini dia merasa tidak memikirkan hal itu. Jadi, apa hubungannya dengan penurunan kesehatannya.
”Ya mungkin secara nggak sadar masih dipikir dan ternyata membawa pengaruh ke kesehatan kita, Bu,” kataku mencoba menanggapi. Tanggapan yang seperti menempatkan cermin di muka sendiri.
Kehilangan orang terdekat memberi pengaruh dahsyat. Khas bagi setiap orang sekaligus sama bagi semua orang. Sudah hampir sepuluh tahun lalu ibuku pergi. Saat dia bersiap pergi, saat dia pergi, sesaat setelah dia pergi, bahkan lama setelah dia pergi ada rasa yang sama. Yang paling terasa sesaat setelahnya adalah tidak ada siapa pun berdiri di belakangku saat aku menengok. Posisi itu kosong. Hal lain yang membekas kuat adalah cara pandang yang berbeda tentang kematian. Menjadi lebih nyata. Terasa lebih dekat.

Hanya sekitar seperempat jam perempuan senja itu masuk ke ruangan di depanku itu. Saat dia keluar, senyum ramah masih sempat dia kembangkan untukku yang masih menunggu dokter datang. Langkahnya ringan dan sigap. Tampaknya bukan perempuan yang lemah. Tapi, sepertinya rasa yang dipendam itu masih belum tenang tersimpan di dalam.

Rabu, 19 November 2008

Evribadi lov statistik (?)

Abis rapat sore balik ke meja, ada pesan di monitor yang bernada ”memaksa” dari cah mumet di batavia heuheuheu...

BUZZ!!!
lawni: njaluk tulung kiiii
lawni: 2005 2006 2007
40 51 58
tahun 2008 brapa?
lawni: buneeee
lawni: tolong
lawni: aku kan guoblog masalah statistik
lawni: buneeeeeee T_T
sugie: sssttttt
sugie: bengok bengok
sugie: bar rapsor ni
sugie: aku buka xls sik
BUZZ!!!

Hmm....untung dia nanya itung-itungan statistik ma aku sekarang. Coba nanya lima tahun lalu ato sepuluh taun lalu pas setelah ngikutin mata kuliah dasar statistik...pasti jawabnya: GA MUDENG!
Itung-itungan emang kek barang bernoda yang aku jauhin n ga aku suka banget waktu sekolah, kecuali itungan duit lho ya. Makanya pas SMA milih jurusan IPS heuheuheu.
Sekarang, meski ga pinter-pinter juga sih, setidaknya lebih paham n lebih menyukai yang namanya statistik.
La gimana nggak? La wong makanan saban harinya kek gitu sekarang.
La kok dulu milih gawean ini? Apalagi di lowongan kan udah tertulis: dicari staf litbang? La dulu kirain ga ngurusin itung-itungan banget secara staf litbangnya kan buat media massa (o’on banget ga sih).
Hasilnya, sebulan pertama masuk kerja di kantor palmerah kerjaan utamanya adalah ngentri data angka sampe belenger. Tapi, ternyata jadi lebih kebal ma angka-angka. Emang bener sih kata orang, tak kenal maka tak sayang (untung ga sebaliknya efeknya bisa didepak dari kerjaan).
Hampir lima tahun ini jadi intim banget tuh ma statistik. Yang dicari-cari, yang diliat-liat, yang dikulik-kulik....ya buku-kertas lembaran-file angka-angka. Kita ”terpaksa” belajar jadi bisa. Kek nasib lawni juga sekarang yang mo ga mo kudu blajar itung-itungan secara kerjaannya jualan minyak (kalo ga mo didepak hihihihi).

Makan tuh statistik!......Mana-mana? heuheuheu

Obat Mendung

Terkadang suasana hati selaras dengan suasana alam.

Semalam perjalanan pulang menghabiskan waktu dua kali lipat dari biasanya. Hujan yang kembali mengguyur mulai jam setengah sepuluh menghambat niatku pulang. Bepergian dalam keadaan hujan di Kota Semarang tidak hanya memikirkan basahnya tubuh, tapi terutama jalur mana yang bebas banjir. Alhasil, selain lambatnya laju motor karena lebih berhati-hati, perjalanan lebih panjang karena terpaksa mencari jalur yang aman. Sesampai di rumah, badan yang sudah letih seharian terasa bertambah letih.

Pagi tadi bangun dengan rasa pegal-pegal tersisa. Otot di pundak kanan terasa menjadi pusatnya. Malas beranjak menjadi selimut. Sebelum setengah sepuluh—lagi-lagi—hujan turun. Keramaian ibu-ibu tetangga yang sedang asyik berbelanja di depan rumahku langsung menyebar. Di dalam rumah, ritualku bersiap ke kantor terasa lambat.
Mendung masih tersisa setelah hujan. “Aah...aku akan ditemani mendung lagi hari ini,” batinku. Suasana hatiku pun sedang mendung. Perdebatan yang menyisakan ketidakenakan karena perbedaan persepsi antara dua kepala-dua hati barusan terjadi. Pas benar.
Ketika sedang menyiapkan dan memanasi motor, tiba-tiba ada suara seseorang menyanyikan lagu yang aku kenal. Aah, seorang pengamen di hari yang mendung. Tunggu dulu, lagu ini kan lagu yang aku suka. Dan, bibirku otomatis tersenyum sendiri....

Saben wayah lingsir wengi
Mripat iki ora biso turu
Tansah kelingan sliramu
Wong ayu kang dadi pepujanku

Bingung rasane atiku
Arep sambat nanging karo sopo
Nyatane ora kuwowo
Nyesake atiku sansoyo nelongso

Wis tak lali-lali
Malah sansoyo kelingan
Nganti tekan mbesok kapan nggonku
mendem ora biso turu

Si bapak pengamen mengakhiri lagunya. Padahal, bait yang paling aku tunggu belum dinyanyikannya. Tampaknya dia tahu aku sengaja mengulur-ulur waktu pemberian honor. Sambil memberikan honornya aku bilang,”Lho kok sampun mandek, Pak?”.
Sambil bersenandung aku teruskan lagu itu sebisaku. Maturnuwun sudah membuat mood-ku kembali.

Opo iki sing jenenge
Wong kang lagi ke taman asmoro
Prasasat ra biso lali
esuk awan bengi tansah mbedo ati

(Lagu Campursari Ketaman Asmara oleh Didi Kempot)

Jumat, 14 November 2008

Kuliner Bandungan: Dari Tahu sampai Kelinci




















Salah satu weekend. Salah satu hotel. Salah satu kawasan berhawa dingin. Waktu dan tempat favorit kantor ngadain rapat kerja (huhuhuhu "kerja" + "weekend"=ga banget deh). Tapi, motivasi emang kudu dipompa sendiri. Jadi, raker akhir taun kali ini bermotivasi utama ketemu ma temen-temen, baik yang tugas di berbagai pelosok Jateng maupun temen-temen dari biro tetangga (hmm....Jateng+Jogja emang susah dipisah ya. asyiiik!).
Seharian mendengarkan doktrinasi-evaluasi, ngomongin agenda+ketawa ketiwi+ngemil. Udah cukup. Sorenya, kita (kelompok litbang) abis diskusi sendiri mutusin melanjutkan merapatkan perut di luar hotel. Otomatis....yang kudu dicari di Kawasan Bandungan adalah tahu serasi. Selain itu sebenernya ada yang khas ditemukan di kawasan dingin di Kabupaten Semarang ini, yaitu susu kedelai.
Ga perlu berjalan terlalu jauh dari hotel, kita masuk ke sebuah warung lesehan yang ada di pinggir jalan. Apa yang dipesan? Yo mesthi harus tahu serasi lah... Karena kita berombongan dan sebenernya (hanya) ingin "ngemil" jadi kita pesen makanan tanpa nasi. Ada tahu serasi goreng, tahu balado, dan sate kelinci (maapin aku ya sodara kelinci). Oya, trus karena ada menu khusus bertajuk "jus tahu" jadi kita coba pesen 1 sementara lainnya pesen minuman yang lebih bisa dibayangkan jaminan rasanya, yakni wedang jahe gula aren n teh panas.
Setelah menghabiskan satu plastik cukup besar keripik bayam, akhirnya makanan dan minuman diantar. Wedang jahe gula arennya pas di badan. Hangatnya minuman ga hanya terasa di mulut dan tenggorokan, tapi juga sampai di pencernaan dan tubuh. Pas banget buat ngadepin udara dingin. Kalau teh panasnya mah sensasinya biasa aja sih kek kalo kita minum di kantor hehehehe. Gimana dengan jus tahu? Tahu kok di-jus? Rasanya....bayangin sendiri deh kalo tahu ditambah air gula n es n sirup merah trus di-jus..rasanya ya "aneh" heuheueheuheu.
Sekarang ngomongin makanannya. Camilan datang disajikan di atas cobek tanah yang dilapisi daun. Hanya tahu gorengnya aja yang disajikan pakai piring biasa. Pertama, tahu goreng serasi. Tahu ini rasanya lebih lembut n kenyal dari tahu biasa. Cara makannya bisa dicocol di kecap atau sambil nggigit cabe rawit. Yang kedua, kita nyoba menu olahan tahu namanya tahu balado. Kalo buat aku sih menu ini paling mantap daripada yang lain. Tahu dibumbu n dioseng sama sambel. Jadi rasanya lebih tajam n tahunya lebih kerasa lembutnya. Apalagi pedesnya mantap, bo! Menu terakhir adalah sate kelinci. Emang sih sempet agak gimana gitu kebayang yang di-sate bukan ayam ato kambing tapi hewan imut yang bernama kelinci. Tapi ya gimana ya. Perjalanan kuliner sayang dilewatkan n dikalahkan ma peri kehewan-imutan kek gitu. Jadi ya, mari dilahap. Hap...satu tusuk sate (dagingnya aja ya) masuk ke mulut-perut...hehehehe...enak lho ;)
Jadilah semua hidangan di meja berpindah ke perut kami dalam waktu yang tidak terlalu lama. Acara ngemil yang menyenangkan yaa... Tapi, kudu diakhiri karena kami kudu balik ke hotel. Ada acara yang sudah menunggu...makan malam (heuheuheu...ga kenyang tuh perut?). N ternyata setelah rapat malamnya, pas yang lain lagi acara hiburan, aku - bim balik lagi ke warung yang tadi sore kita datengin berlima. Bedanya, kali ini ngajak wer. Bim sih ngulang pesen sate kelinci yang baginya sungguh enak. Aku nyoba menu tahu gejrot-nya (bener ga ya namanya?). Hehehehe...kita kan cuman pingin memastikan kalo menu2 di situ enak semua.

Selasa, 11 November 2008

Klangenan


Kotak berukuran 1 cm x 1,25 cm itu sudah bertahun-tahun tidak aku sentuh. Percuma saja menyentuhnya karena kotak kecil berwarna kuning itu sudah tidak berfungsi sekian lama.
Tapi, pagi itu lain. Aku tahu bakal ada hal berbeda yang terjadi. Sesuatu yang selama ini hanya sebatas harapan bercampur kecewa yang muncul saat letih dan jengkel memuncak akibat kegagalan.
Pagi itu, jariku menyentuhnya dan menekannya pelan. ”Jreeeeeeng......”, suara mesin terpicu keluar. Suara yang ternyata sudah lama tersimpan di pojokan memoriku. Tak heran kalau ada rasa yang berbeda saat mendengarnya. Rasanya ingin teriak, ”Hoooi...double starter motorku hidup lagi!!!!”.
Sepeda motor kesayanganku itu keluaran tahun 1998. Jadi, sudah 10 tahun menemaniku. Mereknya Kawasaki tipe Kaze bersilinder 110. Warnanya yang hitam membuatnya tambah ganteng. Stripping-nya yang bernuansa hijau pernah sempat pingin aku hilangkan, maksudnya biar hitam polos tapi kala itu dilarang mami. Entah apa alasannya, yang jelas sampai sekarang masih menempel manis.
Baru beberapa hari yang lalu si Kaze—begitu aku memanggilnya—masuk bengkel untuk dipoles. Seharian dia di sana. Hasilnya, selain double starter yang bisa kembali hidup, si Kaze dapat suara klakson baru yang lebih garang dari sebelumnya. Hehehe..sebelumnya hanya bersuara ”tiiiit”. Kedua mata-nya pun dapat lampu-lampu baru, tapi sayang perlu diganti lagi ke yang lebih terang. Yang seru, lampu sein kanan-kiri sekarang bisa berkedip dengan genit lagi setelah bertahun-tahun hanya melotot kalau mau belok. Akar semuanya ya aki baru hihihihihi.....
Pelek ban belakang termasuk ruji-nya juga baru. Ini memang harus diganti karena peleknya sobek di beberapa bagian karena karat yang beberapa kali ikut menyobek ban dalam. Kampas rem belakang juga ikut diganti termasuk kampas rem depan—untung perminyakan rem cakramnya nggak ikutan error. Selama ini rem depan-belakang memang tidak bisa aku andalkan, terpaksa main gigi juga.
Sebenarnya baru setahun terakhir si Kaze sedikit demi sedikit aku poles. Awal tahun, karena polisi di sini semakin galak kalau melihat spion yang nggak lengkap, jadi aku lengkapi spion kirinya. Dan karena thothok kepala rusak akibat jatuh bangun beberapa tahun sebelumnya dan membuat pemasangan spion kiri susah dilakukan, maka bagian itu pun diganti baru. Jadi mulus kepalanya meski aku harus kehilangan stiker kesayangan yang menempel di situ.
Si Kaze memang sudah lama sekali dalam kondisi babak belur. Teringat hari pertama aku pakai sepuluh tahun yang lalu. Pagi hari berangkat sekolah. Kelas tiga SMA saat itu. Dengan asyiknya melaju. Tapi, karena belum terbiasa dan luwes pagi itu aku jatuh glangsuran di aspal yang berair setelah hujan. Rok abu-abuku basah dan masih basah waktu mengerjakan soal ulangan beberapa menit setelahnya.
Tidak hanya itu, beberapa jatuh bangun terjadi pada tahun-tahun pertama itu. Yang paling parah seingatku—semoga tidak pernah lagi—di Jalan Kaligawe depan Terminal Terboyo. Aku memacunya setelah lampu lalu lintas berwarna hijau. Tiba-tiba ada perempuan menyeberang dan aku mencoba menghindar, tapi motor di belakangku terasa menyundul si Kaze. Sepersekian detik aku tahu bakal jatuh. Waktu jatuh pun aku masih bisa melihat aspal hanya berjarak beberapa senti di depan mukaku. Luka di kaki dan wajah. Alhamdulillah. Si Kaze yang baru berusia sekitar setahun babak belur lagi. Hehehehe...maaf ya.
Baru sekarang aku benar-benar berniat mengembalikan fungsinya. Sempat beberapa kali terpikir menjual si Kaze, tapi alasan sentimentil menggelayut. Selain itu, ketangguhan mesinnya masih diakui banyak orang. So, di sinilah kami. Masih saling menemani. Jadi teringat sepeda ganteng yang aku miliki semasa SD. Sepeda keren dengan gir susun yang bisa membuat rantai berpindah-pindah sesuai kecepatan yang kita inginkan. Mirip dengan si Kaze, sepeda itu pun relatif berat dan enak untuk ngebut. I love to ride ’n feel the wind.....with 'd Kaze (hehehe).