Tubuhnya ramping. Tingginya tidak lebih dari aku. Rambutnya yang ikal dipotong sebahu. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya siang itu, perempuan itu termasuk orang yang memerhatikan penampilan. Celana kain panjang warna coklat gelap dipadu dengan blus lengan panjang bermotif bunga-bunga besar berwarna senada. Di luarnya, jaket coklat berbahan kain sampai setengah paha menutup tubuh. Alas kaki yang tak bersuara saat melangkah melengkapi penampilannya.
Aku memilih duduk di sebelahnya karena kursi lainnya masih kosong. Mengantri menjadi kegiatan kami bersama siang itu. Kami berdua duduk di deretan kursi yang saling bersambung menempel di tembok. Sudut lorong itu masih sepi. Pintu-pintu ruang di depan dan samping kami tertutup. Hanya tembok berwarna hijau telur asin dan lampu di langit-langit serta kesejukan buatan yang menemani.
Ternyata, perempuan itu sedang menunggu giliran konsultasi dengan dokter yang berbeda denganku. ”Saya itu akhir-akhir ini gampang sakit. Trus sama dokternya kok malah dirujuk ke sini, ke psikiater,” katanya.
Perempuan yang aku taksir berumur sekitar 60-an tahun ini kemudian berkisah. Dia masih tidak habis pikir rujukan dokternya agar dia berkonsultasi ke psikiater. Tak yakin kalau penyebabnya adalah kematian suaminya dua tahun lalu. Menurutnya, akhir-akhir ini dia merasa tidak memikirkan hal itu. Jadi, apa hubungannya dengan penurunan kesehatannya.
”Ya mungkin secara nggak sadar masih dipikir dan ternyata membawa pengaruh ke kesehatan kita, Bu,” kataku mencoba menanggapi. Tanggapan yang seperti menempatkan cermin di muka sendiri.
Kehilangan orang terdekat memberi pengaruh dahsyat. Khas bagi setiap orang sekaligus sama bagi semua orang. Sudah hampir sepuluh tahun lalu ibuku pergi. Saat dia bersiap pergi, saat dia pergi, sesaat setelah dia pergi, bahkan lama setelah dia pergi ada rasa yang sama. Yang paling terasa sesaat setelahnya adalah tidak ada siapa pun berdiri di belakangku saat aku menengok. Posisi itu kosong. Hal lain yang membekas kuat adalah cara pandang yang berbeda tentang kematian. Menjadi lebih nyata. Terasa lebih dekat.
Hanya sekitar seperempat jam perempuan senja itu masuk ke ruangan di depanku itu. Saat dia keluar, senyum ramah masih sempat dia kembangkan untukku yang masih menunggu dokter datang. Langkahnya ringan dan sigap. Tampaknya bukan perempuan yang lemah. Tapi, sepertinya rasa yang dipendam itu masih belum tenang tersimpan di dalam.
Aku memilih duduk di sebelahnya karena kursi lainnya masih kosong. Mengantri menjadi kegiatan kami bersama siang itu. Kami berdua duduk di deretan kursi yang saling bersambung menempel di tembok. Sudut lorong itu masih sepi. Pintu-pintu ruang di depan dan samping kami tertutup. Hanya tembok berwarna hijau telur asin dan lampu di langit-langit serta kesejukan buatan yang menemani.
Ternyata, perempuan itu sedang menunggu giliran konsultasi dengan dokter yang berbeda denganku. ”Saya itu akhir-akhir ini gampang sakit. Trus sama dokternya kok malah dirujuk ke sini, ke psikiater,” katanya.
Perempuan yang aku taksir berumur sekitar 60-an tahun ini kemudian berkisah. Dia masih tidak habis pikir rujukan dokternya agar dia berkonsultasi ke psikiater. Tak yakin kalau penyebabnya adalah kematian suaminya dua tahun lalu. Menurutnya, akhir-akhir ini dia merasa tidak memikirkan hal itu. Jadi, apa hubungannya dengan penurunan kesehatannya.
”Ya mungkin secara nggak sadar masih dipikir dan ternyata membawa pengaruh ke kesehatan kita, Bu,” kataku mencoba menanggapi. Tanggapan yang seperti menempatkan cermin di muka sendiri.
Kehilangan orang terdekat memberi pengaruh dahsyat. Khas bagi setiap orang sekaligus sama bagi semua orang. Sudah hampir sepuluh tahun lalu ibuku pergi. Saat dia bersiap pergi, saat dia pergi, sesaat setelah dia pergi, bahkan lama setelah dia pergi ada rasa yang sama. Yang paling terasa sesaat setelahnya adalah tidak ada siapa pun berdiri di belakangku saat aku menengok. Posisi itu kosong. Hal lain yang membekas kuat adalah cara pandang yang berbeda tentang kematian. Menjadi lebih nyata. Terasa lebih dekat.
Hanya sekitar seperempat jam perempuan senja itu masuk ke ruangan di depanku itu. Saat dia keluar, senyum ramah masih sempat dia kembangkan untukku yang masih menunggu dokter datang. Langkahnya ringan dan sigap. Tampaknya bukan perempuan yang lemah. Tapi, sepertinya rasa yang dipendam itu masih belum tenang tersimpan di dalam.
1 komentar:
Updet dong, kmaren di Jakarta ngapain aja? :(
Posting Komentar