Rabu, 27 Agustus 2008

penuh eui..

21.24
rasanya kepala ini kok penuh banget ya
udah pingin cabs dari depan kompi n mluncur pulang

21.39
lumayan abis di ajak ngobrol ma temen soal hal lain di luar kerjaan. pulang ah

21.40
datanya jadinya juga kliatan penuh di space-nya. mbuhlah, kan tadi aku udah kasih alternatif pelonggarnya

21.41
pulang beneran ah

Senin, 25 Agustus 2008

Bandung (3): Namaku cowok banget ya?


Namanya kalo orang denger sesuatu berkali-kali lama-lama juga bakalan kebal.
Emang sih pada akhirnya aku kebal, cuman tetep aja tanya itu ada. Emang namaku itu punya cowok doang?
Tapi keknya emang gitu sih ya (hmm...pasrah). Soalnya itulah respon n referensi awal orang asing soal namaku.

Paling seringnya di nota atau kuitansi. Beberapa kali ditulis ma yang bikin tu bukti pembayaran namaku dengan atribut “BP” atau “BPK” (=bapak) atau juga “MR” (=mister=panggilan bapak juga dalam bahasa inggris, tau kan?).

Hal itu terulang lagi pas mo perjalanan dari Bandung ke Tasikmalaya. Sehari sebelumnya aku pesen satu kursi di travel lewat telepon. Aku lupa apa aku nyebutin pemesanan atas nama empat huruf pertama namaku ato namaku secara utuh. Soalnya “kecelakaan salah nyebut” ini paling sering kalo aku nyebut empat huruf pertama namaku (s, u, g, dan i). Kalo nama utuhku kan huruf paling belakangnya ada huruf “i” yang biasanya untuk mengidentifikasikan jenis kelamin pemilik nama. Misalnya, untuk nama “Susanto” orang pasti langsung dengan pede-nya menyebut jenis kelamin sang pemilik nama seorang lelaki. Sisi lain, kalo namanya “Susanti” mengacunya ke jenis kelamin perempuan. Jadi kalo merujuk dari “kebiasaan” n “budaya” ini nama utuhku sudah menunjukkan kalo jenis kelaminku perempuan. Tapi pernah ada yang kebangetan, kalo ga salah inget di salah satu nota pembayaran hotel yang tetep kasih “MR” di depan nama utuhku yang berakhiran “i”.

Liat nih ya...
Pagi-pagi ada sms masuk gini:
06:39:54
Slmt pagi p Sugih,sy dari travel yg ke Tasik,Bp siap2 nanti di jpt jam 07.00,trims.

Kalo liat dari sms itu brarti pas telp buat pesen kursi aku udah nyebutin nama utuhku, karena di sms si sopir travel ini manggil aku “Sugih”. Kalo pas pesen aku cuma nyebut nama panggilan pasti yang dia tulis “Sugi”. Dan ternyata dia mengacu pada kuitansi yang dibikinin oleh kantornya yang tentu saja dibuat setelah aku telpon. Brarti ada kesalahan berantai di kasus ini. Padahal, aku sendiri (dengan suara cewek yang merdu) yang memesan dengan menyebut nama utuhku yang berakhiran “i”.

Halooo? Apa sulitnya sih nanya nama ini jenis kelaminnya apa? Daripada sok tahu tapi salah. Yaah, pada akhirnya kemudian tergantung gimana kita menanggapinya tho.

Sms pak sopir tadi akhirnya cuma aku bales: Siap, Pak. Btw, nanti kalo nyari saya cewek lho ya hehehehe...

Bandung (2): Kilometer Nol




“ZORG, DAT ALS IK TERUG KOM HIER EEN STAD IS GEBOUWD”
(Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota)

Itulah ucapan seorang HW Daendels yang sangat terkenal sambil menancapkan tongkat kayunya di tanah. Perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa tahun 1808-1811 menjadi kenyataan dan sekarang kota yang dia inginkan masih berdiri dengan segala warnanya. Ya, Kota Bandung.

Kutipan lebih lengkapnya dapat dilihat di PRASASTI BANDOENG KM. “0” (NOL) yang melengkapi sebuah tugu yang menjadi penanda posisi KM. Bd. 0+00.
Tugu ini ada di trotoar depan Kantor Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat yang terletak di kawasan Asia-Afrika.

Sebuah episode yang menyenangkan saat kami menginjak tanah yang pada 1810 diinjak juga oleh seorang HW Daendels. Seorang tokoh lampau yang dengan ambisinya telah mendorong dan memaksa terbentangnya sebuah jalan raya dari Anyer ke Panarukan. Jalan yang terkenal sebagai jalan raya pos atau de groote postweg. Jalan yang pembuatannya memakan banyak korban jiwa rakyat negeri ini. Jalan yang hingga saat ini masih membentang dengan keangkuhan yang masih tersisa di tengah bopeng-bopeng di sekujurnya.

Berdiri di tempat ini sebenarnya bukanlah menjadi tujuanku ke Bandung. De yang ingin menunjukkannya. Jadilah sore itu, dengan tujuan utama survei lapangan untuk tugas pantauan pilkada keesokan harinya dan kebetulan Jalan Asia-Afrika masuk dalam wilayah pantauanku, kami ke sini.

Berfoto menjadi wajib kemudian. Dan ternyata bukan cuma kami yang melihat lokasi ini penting, ada sepasang remaja dan seorang bapak yang dengan serius berusaha mengambil gambar tugu dengan kamera handphone masing-masing sore itu.

“Kayaknya kita harus mengunjungi nol kilometer di tempat lain juga nih,” kata de tiba-tiba.
Seru juga sepertinya...jadilah KM 0 di kota-kota lain menjadi target kami berikutnya. Hmm...kapan ya bisa ke Sabang?

Selasa, 19 Agustus 2008

Bandung (1): Stasiun Penjerat Kenangan


Menapak kaki kembali di peron Stasiun Bandung dini hari itu.
Adalah dorongan otomatis untuk mengambil sebuah piringan hitam kenangan dan kembali memainkan di pemutarnya.
Lebih setengah windu yang lalu kenangan itu tergores.

Gelisah di tempat duduk dalam gerbong kereta api yang membawa dari arah utara kota di mana stasiun ini berada.
Saat jarak semakin pendek, saat waktu semakin susut.
Debar semakin kencang.
Kereta berhenti.
Sambil mencoba menata hati, aku turun dari kereta mengedarkan pandangan.
Mencari sosok itu.
Sosok yang membuatku berani menempuh perjalanan ini.
Dia ada di sana.
Di peron yang ada di samping kereta yang baru saja berhenti membawaku yang gelisah dalam perjalanan dari arah utara.
Aku tersenyum, begitupun dia.
Tangannya mengacaukan rambutku dengan gerakan yang canggung.
Aku memandangnya pun dengan canggung.
Kemudian percakapan dengan pola serupa untuk sebuah pertemuan dari perjalanan berlangsung.
Sambil kaki-kaki kami mencoba menyamakan langkah ke luar stasiun.
Hari itu pun habis dengan kisah yang terangkum.
Dihiasi dengan gerakan-gerakan canggung yang manis.

Di dini hari yang baru saja berlalu....
Aku kembali menapakkan kaki di peron Stasiun Bandung itu.
Sambil melangkah mengedarkan pandangan.
Menghirup udaranya.
Memang, aku tidak menemukan sosok yang sama di pandanganku dini hari itu.
Tapi hatiku nyaman.
Karena beberapa hari setelah ini, sosok itu akan datang dari arah utara.
Untuk menemuiku, kali ini tidak dengan kecanggungan yang saling kita lemparkan.
Kali ini dengan kemantapan yang menenangkan.

Dini hari itu, aku pandang peron di mana sosok itu dulu berdiri menungguku.
Dini hari itu, aku pandang bangku di mana seingatku kami pernah duduk menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke arah utara datang.
Dini hari itu, Stasiun Bandung kembali menyapaku