Ada gula ada semut.
Pepatah yang sangat populer untuk menggambarkan sebuah fenomena saat ada sebuah titik yang mengeluarkan aura daya tarik super kuat ke sekitarnya.
Ini lebih diawali dari karakter semut yang menyukai hal-hal yang "manis". Jadi ketika ada "gula" yang merepresentasikan sebuah ke"manis"an, maka cukuplah prasyarat menjadi daya tarik bagi sang semut.
Sosok semut dapat berupa apapun dan siapapun.
Bisa jadi ormas, kelompok masyarakat, pondok pesantren, pengurus masjid, panti asuhan, atau nama apapun yang dijadikan papan nama untuk mengumpulkan gula-gula yang seringkali bertajuk "sumbangan seikhlasnya".
Kali ini, gula itu bernama kampanye politik.
Hari ini, fenomena itu mampir di depan mata tanpa perlu mencarinya.
Jam 10 pagi lebih sedikit aku sampai ke sebuah blok ruko yang menjadi markas tim sukses salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah yang akan bertempur 22 Juni mendatang.
Hampir bersamaan, beberapa orang yang sepertinya bukan orang yang bekerja di kantor itu datang. Mereka duduk di sederet kursi yang ada di ruangan sempit di bagian depan kantor yang berfungsi semacam "lobi".
Aku langsung masuk ke ruang dalam-karena feelingku bilang para tamu itu adalah para "semut-semut" tadi. Dan ternyata saat aku tanyakan ke mbaknya yang ada di dalam, dia membenarkan.
Sekitar setengah jam kemudian aku pergi karena orang yang aku tunggu belum muncul.
Satu jam kemudian aku kembali dan duduk di belakang mbaknya.
Tak berapa lama ada seorang bapak berpakaian rapi identik-yang aku lihat duduk di lobi saat aku masuk kantor itu untuk yang kedua kalinya-masuk ke ruangan itu dan duduk di depan mbaknya.
Ternyata untuk menyerahkan proposal juga.
Bapak berwajah bersih dengan sedikit jenggot itu mengenakan baju koko putih yang dipadu celana kain dan sepatu gelap. Rapi.
Tanpa perlu mencuri dengar, aku yang duduk di belakang mbaknya bisa mendengar percakapan mereka.
Si Bapak mengajukan proposal permohonan sumbangan atas nama sebuah panti asuhan yang ada di salah satu tempat di luar Kota Semarang. Dana itu sekiranya untuk memenuhi pos anggaran "kebutuhan sehari-hari" panti yang mengasuh 61 anak tersebut.
Dengan ramahnya mbaknya menerima proposal dari si Bapak. Mbaknya juga menerangkan kalau untuk proposal tersebut kemungkinan tindakan lanjutan dari pihaknya baru akan dilakukan bulan berikutnya, bukan bulan ini.
Alasannya, sudah banyak proposal yang masuk sebelum proposal si Bapak. Dia menyebutkan angka 100. Selain harus prioritas yang sudah lebih dulu masuk, mbaknya juga menerangkan kalau kemungkinan pihaknya akan konsentrasi dulu untuk pemenangan timnya pada pertaruhan 22 Juni mendatang.
Si Bapak langsung waspada mendengar penjelasan ini.
Dia menegaskan apakah ini berarti pengajuan proposalnya tidak akan cepat terealisir.
Dan saat mbaknya mengiyakan, si Bapak terus mengejar apakah ini berarti proposalnya baru akan ditindaklanjuti setelah pencoblosan.
Karena indikasinya mengarah ke situ, si Bapak mencoba bernegosiasi dengan senjata bahwa bukankah kalau proposal itu bisa terealisir sebelum pencoblosan, pasangan calon yang dimaksud dapat sekalian "sosialisasi program" ke mereka. Si Bapak tampaknya mencoba mengingatkan betapa penting korelasi yang ada-antara realisasi proposal dan kesempatan kampanye bagi pasangan calon dimaksud.
Tapi tampaknya, mbaknya tak goyah (atau terlalu capek melakukan rutinitas menerima-memberi pengertian-mendengarkan pengajuan proposal-proposal yang berdatangan).
Setelah usaha negoisasi tak berhasil, si Bapak akhirnya berpamitan.
Proposal si Bapak semakin membuat tumpukan proposal di meja mbaknya meninggi. Aku perkirakan jumlahnya lebih dari lima buah.
Dia bilang, "mbak tinggal sebentar aja, proposalnya udh segini kan."
Dan kami hanya tertawa.
Menertawakan sekaligus salut pada kegigihan "semut mencari gula"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar