Kesekian kalinya aku mampir mengecap rasa yang ngangenin ini di warung tua itu. Sampai sekarang pun aku tak ingat tepatnya dimana seandainya aku disuruh menunjuk titik di peta Kota Magelang yang mewakili warung itu. Ingatanku soal lokasi emang rada payah (kalo malu dibilang sangat buruk).
Tapi ingatanku kuat soal susunan bangku dan meja di dalam warung bercat hijau itu. Soal letaknya yang ada di sebelah kiri jalan arah ke Semarang dari alun-alun kota. Warung kupat tahu kedua dari deretan di jalan itu. Dengan papan nama “Tahu Pojok”.
Menikmati sepiring kupat tahu di situ bagaikan merekonstruksi sebuah kenangan akan rasa. Mengembalikan sebuah ingatan akan rasa. Selama waktu tidak merasakannya di lidah, hanya ingatan akan rasa manis sekaligus segar yang nikmat yang terbangun. Saat kembali merasakannya di lidahlah ingatan akan semua itu mewujud. Luar biasa.
Sepiring...tidak lebih. Hanya sepiring untuk menikmati sebuah hidangan istimewa. Cara menghidangkannya pun tak biasa. Tidak butuh yang namanya cobek untuk setengah menghancurkan bumbu penyedapnya. Ritual itu langsung dilakukan di piring yang nantinya tersaji di hadapan penikmat.
“Kupat tahu setunggal. Pedes”. Begitu pesanan terlontar, dua pelayan otomatis bergerak. Seorang segera menggoreng tahu dan memotongnya seukuran dadu besar. Seorang lainnya mengiris sepenggal bawang putih dan beberapa buah cabai rawit di atas piring yang kemudian diulek dengan munthu dari kayu. Setelah siap, kupat diiris dan ditaruh di piring itu bersama tahu goreng. Irisan kol dan daun seledri, serta kecambah menghias di atasnya. Kuah semacam sambal kacang yang encer dituang ke piring. Bawang merah goreng yang tak boleh ketinggalan memberikan sentuhan terakhir.
Panas dari tahu goreng masih terasa saat kupat tahu di piring kita aduk. Harum. Tahu yang lembut dan gurih terasa nikmat saat dimakan bersama kuah yang juga gurih sekaligus manis. Sayur-sayuran yang ada memberikan rasa segar tersendiri. Sementara kupatnya—mewakili nasi—seperti menjadi syarat legalisasi bagi orang Indonesia untuk merasa sudah makan.
Banyak warung menjual kupat tahu. Pernah merasakan yang memakai telur dengan porsi yang penuh. Pernah merasakan yang memakai semacam gimbal dengan harga porsi yang mahal. Sama-sama mengklaim sebagai kupat tahu. Tapi, kupat Tahu Pojok memang beda. Rasa kuah sambal kacangnya tidak meninggalkan rasa eneg setelahnya. Sebaliknya, rasanya justru segar. Pelengkapnya yang “hanya” sayuran sederhana justru menjaga kenikmatan rasa keseluruhan tidak menjadi kabur.
Selain itu semua, makan di warung bercat hijau di salah satu ruas jalan di Kota Magelang itu menyisakan kenangan unik. Kenangan “masa muda”. Sekitar tujuh tahun yang lalu (kalo tak salah ingat tepatnya), langsung berangkat keesokan hari setelah sebelumnya Upik mengajakku naik motor berdua ke rumah kakeknya di Jogja. Dengan Kaze-E kesayanganku (yang waktu itu masih berusia balita), kami bergantian mengendarainya. Keluar pagi dari Semarang dan masuk lagi ke kota itu malamnya. Perjalanan seru yang kalo sekarang disuruh mengulang pasti berpikir berpuluh kali (he..he..he..). Dalam perjalanan ke Jogja itulah kami mampir ke “Tahu Pojok”. Itu pertama kalinya (seingatku) aku ke warung itu dan membawa oleh-oleh kenangan rasa. Setelah itu, setiap melewati Magelang pasti kenangan rasa itu selalu melintas.
Nikmat.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar