Sabtu, 02 Mei 2009

an empty hole



Tiba-tiba rasa panas muncul di antara dada dan tenggorokan. Rasa yang secepat kilat merembet ke mata, air menggenang memenuhinya. Melalui lensa mata yang berair aku melihat adik perempuanku juga menangis di depan sana, di kursi pelaminannya.
Pertanyaan muncul di benak, apakah penyebab dia menangis saat perjanjian seumur hidup dengan seorang lelaki sedang berlangsung sama dengan alasanku menangis di momen yang sama dulu?
Tapi, kenapa ya dulu tangisan itu tak tertahankan? Hmm...bahagia? pastinya ada rasa itu. Apalagi, aku akhirnya menikah dengan lelaki itu dengan cara dan prosesi yang kami inginkan. Juga, bahagia karena kehadiran sahabat-teman yang juga keluargaku dari penjuru tempat. Namun, bukan itu yang menjadi penyebab utamanya. Sedih, lebih tepatnya. Rasa yang jauh sebelumnya aku tahu itu akan muncul di momen itu.
Ketidakhadiran Ibu lah yang membuat sebagian besar tangis itu tertumpah. Selalu ada tempat yang kosong dalam setiap momen yang kulalui, dan inilah puncaknya. Pemilihan tempat prosesi saat itupun sebenarnya untuk mengisi kekosongan itu. Rumah, halaman, masjid, termasuk dua pohon mangga besar yang menjadi setting adalah juga milik beliau dulu. Berusaha merasakan kehadirannya justru semakin membobol pertahanan air di mata.
Cukup tentangku. Mungkin benar seperti komentar mbakku.Menurutnya yang banyak menangis adalah mereka yang berhubungan dekat dengan pihak ibu pengantin, yang sudah tidak ada. Dan, sore itu selain adik perempuanku, sang pengantin, kami saudaranya, keluarga dari pihak ibu, dan bapak, tidak bisa menahan tangisnya. Begitupun, sang pengantin laki-laki, bapaknya, dan beberapa anggota keluarga, yang kami duga juga adalah keluarga dari pihak ibu pengantin laki-laki yang sekali lagi juga telah tiada.


For my mommy,
maafkan kami...kami tidak bisa untuk tidak merindukanmu...

Tidak ada komentar: