Minggu, 13 April 2008

Pada hitungan ketiga

Pada hitungan ketiga lah aku telah belajar.

Tiga kali sudah aku ngisi agenda tahunan sebuah lembaga pers mahasiswa (LPM) universitas negeri di Semarang.
Pesertanya beragam dari tahun ke tahun, dari mahasiswa umum, mahasiswa yang sekaligus anggota LPM, dan beberapa orang yang tertarik dengan jurnalistik.
Memang, agenda itu semacam pelatihan jurnalistik dasar.
Dan salah satu sesi-nya mengenai penelitian dan pengembangan di media massa.

Pengalaman pertamaku, langsung di depan audiens yang jumlahnya sekitar seratus. Grogi pastinya. Panas dingin. Untungnya, materi aku sendiri yang bikin hasil modifikasi dari materi pelatihan milik bos kala itu. Untungnya lagi, beberapa saat sebelumnya bos kala itu sempat sengaja men-training aku untuk memberi pelatihan. Saat itu, bos kala itu (yang kepadanya aku selalu berterimakasih atas pelajaran2 hebat yang dia berikan) mengajakku untuk melihat blio memberi pelatihan. Gayanya memang selalu mengesankan di depan audiens. Aku belum apa-apanya. Pelajaran penting dari pengalaman pertamaku...kuasai diri, jangan berbicara dengan diri sendiri (di dalam benak) saat berbicara dengan audiens, jangan bertanya2 bagaimana penampilanku saat aku sedang menampilkan diri...intinya: control urself! n satu lagi: pertimbangkan penggunaan waktu.

Pengalaman keduaku, kali ini audiens-nya tidak sebanyak yang pertama, meski tetap penuh ruangannya. Aku mencoba hal yang baru...tidak membawa hand-out materi. Kali itu aku lebih banyak bercerita mengenai pengalamanku sebagai staf Litbang. Memang lebih cair dan aku lebih bisa menguasai diri. Pelajaran dari pengalaman kedua...pengulangan selalu memberi kesempatan perbaikan. (makasih buat seseorang yang dengan setia duduk di kursi belakang hehehehe)

Pengalaman ketiga, berbeda gedung lagi dengan isi sekitar 80an. Kali ini aku membawa materi berupa pointer n penjelasan singkatnya yang aku siapin beberapa jam sebelumnya. Pertimbangannya: cerita pengalaman memang asyik didengarkan, tapi apakah cukup mengena dan mampu memberi gambaran mengenai apa n bagaimana Litbang di media massa. Keknya sih dengan itu, kisahnya jadi lebih sistematis. Sesi diskusinya juga seru. Tapi keknya di tengah-tengah aku masih kepleset ga sistematis ngomongnya n kecepetan ga ya tadi ngomongnya?

Pengalaman dari ketiganya: Pilih waktu yang tepat saat memberi materi!
Yang pertama n kedua aku taken for granted aja ma jadwal yang dikasih panitia: sekitar jam 11 lebih dengan waktu sekitar 45 menit.
Hasilnya, audiens sendiri udah pada bete, cenderung males karena udah capek n hawanya pingin istirahat siang. Tidak menguntungkan buat berbicara (apalagi dengan kemampuan menarik perhatian yang masih terbatas hehehehe)
Karena itulah, yang ketiga ini sebelumnya aku minta ke panitia buat ganti jam. dari sesi ketiga yang hampir siang itu ke sesi kedua yang ada di tengah antara pagi dan siang.
Memang beda ternyata. Tadi, hanya beberapa orang yang keliatan tidak mendengarkan. Sebagian besar masih berminat mendengarkan celotehan sok tau dari aku hehehehe...keliatan dari mata mereka.

Hmm...klise tapi bener: Pengalaman adalah guru yang terbaik

Kamis, 10 April 2008

tepat sebulan lagi

"wis deg2an belum?"
seorang temen tak bosan-bosan menanyakannya beberapa kali dalam beberapa waktu terakhir ini.
dan jawaban terakhirku masih sama seperti jawaban-jawabanku yang lalu
"rak sempat deg2an, la wong gawean akeh".

Setelah dialog yang serupa itu biasanya dia membagi pengalaman dan tips2nya saat dan setelah memasuki momen itu.

dan tepat sebulan sebelum hari itu, pertanyaan itu kembali dilontarkannya.
dan dialog yang sama masih kami lakonkan.

tepat sebulan sebelum hari itu, badanku terasa letih, pikiran dan emosiku bercampur aduk dalam percampuran yang panas dan cenderung gelap. Di kepalaku terisi banyak hal. Besok ke bps pagi-karena besok jumat biar ga keburu tutup tengah hari-buat nyari data pelengkap hut kota tegal. Besok mulai ngitung n nyusun laporan keuangan trackingpoll kemarin dengan konsekuensinya laporan itu telat kekirim n gajiku berpotensi ditahan--karena malam ini aku udah males banget ngitung-ngitung soal duit lagi. Soal lawangsewu besok ga usah dipikir lah, janjiannya kan senin depan konfirm lagi. Agak nyesel karena aku ga sempat bikin tulisan jelang pilkada kudus. Ups! besok kudu konfirm ke kpu kudus soal sistem penghitungan suara pilbup mereka besok sabtu (dan apakah minggu masih bisa diakses?). Oya, kudu ngecek stok poling buat pemuatan hari senin. Oya juga, kudu mulai ngatur sistem pembayaran ke temen2 tenaga poling kemarin. Apalagi ya? keknya sementara ini cukup deh.

tadi sore mamah sms soal kontrakan, tapi dengan ga sopannya, sampe sekarang blm takbales karena lagi males mikir.

oya, soal baju juga lupa konfirm.

dan tepat sebulan sebelum hari penting itu...ada seorang temen yang dengan setia bertanya, "wis deg2an belum?" dan aku tetap jawab, "rak sempet deg2an".

hanya doa yang tak pernah putus semoga semuanya lancar hingga momen itu datang, hingga momen itu terlewati, hingga momen itu berganti dengan momen-momen lain yang lebih baik.
Amin

with all wishes in the air
in the name of Allah
bismillah....

Minggu, 06 April 2008

Mojok di Kupat Tahu “Pojok”

Kesekian kalinya aku mampir mengecap rasa yang ngangenin ini di warung tua itu. Sampai sekarang pun aku tak ingat tepatnya dimana seandainya aku disuruh menunjuk titik di peta Kota Magelang yang mewakili warung itu. Ingatanku soal lokasi emang rada payah (kalo malu dibilang sangat buruk).

Tapi ingatanku kuat soal susunan bangku dan meja di dalam warung bercat hijau itu. Soal letaknya yang ada di sebelah kiri jalan arah ke Semarang dari alun-alun kota. Warung kupat tahu kedua dari deretan di jalan itu. Dengan papan nama “Tahu Pojok”.

Menikmati sepiring kupat tahu di situ bagaikan merekonstruksi sebuah kenangan akan rasa. Mengembalikan sebuah ingatan akan rasa. Selama waktu tidak merasakannya di lidah, hanya ingatan akan rasa manis sekaligus segar yang nikmat yang terbangun. Saat kembali merasakannya di lidahlah ingatan akan semua itu mewujud. Luar biasa.

Sepiring...tidak lebih. Hanya sepiring untuk menikmati sebuah hidangan istimewa. Cara menghidangkannya pun tak biasa. Tidak butuh yang namanya cobek untuk setengah menghancurkan bumbu penyedapnya. Ritual itu langsung dilakukan di piring yang nantinya tersaji di hadapan penikmat.

“Kupat tahu setunggal. Pedes”. Begitu pesanan terlontar, dua pelayan otomatis bergerak. Seorang segera menggoreng tahu dan memotongnya seukuran dadu besar. Seorang lainnya mengiris sepenggal bawang putih dan beberapa buah cabai rawit di atas piring yang kemudian diulek dengan munthu dari kayu. Setelah siap, kupat diiris dan ditaruh di piring itu bersama tahu goreng. Irisan kol dan daun seledri, serta kecambah menghias di atasnya. Kuah semacam sambal kacang yang encer dituang ke piring. Bawang merah goreng yang tak boleh ketinggalan memberikan sentuhan terakhir.

Panas dari tahu goreng masih terasa saat kupat tahu di piring kita aduk. Harum. Tahu yang lembut dan gurih terasa nikmat saat dimakan bersama kuah yang juga gurih sekaligus manis. Sayur-sayuran yang ada memberikan rasa segar tersendiri. Sementara kupatnya—mewakili nasi—seperti menjadi syarat legalisasi bagi orang Indonesia untuk merasa sudah makan.

Banyak warung menjual kupat tahu. Pernah merasakan yang memakai telur dengan porsi yang penuh. Pernah merasakan yang memakai semacam gimbal dengan harga porsi yang mahal. Sama-sama mengklaim sebagai kupat tahu. Tapi, kupat Tahu Pojok memang beda. Rasa kuah sambal kacangnya tidak meninggalkan rasa eneg setelahnya. Sebaliknya, rasanya justru segar. Pelengkapnya yang “hanya” sayuran sederhana justru menjaga kenikmatan rasa keseluruhan tidak menjadi kabur.

Selain itu semua, makan di warung bercat hijau di salah satu ruas jalan di Kota Magelang itu menyisakan kenangan unik. Kenangan “masa muda”. Sekitar tujuh tahun yang lalu (kalo tak salah ingat tepatnya), langsung berangkat keesokan hari setelah sebelumnya Upik mengajakku naik motor berdua ke rumah kakeknya di Jogja. Dengan Kaze-E kesayanganku (yang waktu itu masih berusia balita), kami bergantian mengendarainya. Keluar pagi dari Semarang dan masuk lagi ke kota itu malamnya. Perjalanan seru yang kalo sekarang disuruh mengulang pasti berpikir berpuluh kali (he..he..he..). Dalam perjalanan ke Jogja itulah kami mampir ke “Tahu Pojok”. Itu pertama kalinya (seingatku) aku ke warung itu dan membawa oleh-oleh kenangan rasa. Setelah itu, setiap melewati Magelang pasti kenangan rasa itu selalu melintas.

Nikmat.....