Senin, 05 November 2007

fall in love with batik

Galeri Batik Kuno, Membaca Perubahan Zaman

Irisan daun pandan dan daun jeruk purut, parutan kencur dan laos, ditata bersama beberapa kuntum bunga mawar, kantil, melati, dan kenanga dalam sebuah mangkuk. Racikan yang disebut bunga ramping itu diletakkan di sudut-sudut ruang pamer.

Racikan bunga ramping berfungsi sebagai pengharum ruangan yang suhunya juga diatur. Selain itu, biji-biji merica yang dibungkus rapi juga diletakkan di beberapa tempat.

Merica berfungsi untuk menjauhkan kain dari serangga. Memang, ramuan tradisional yang menggunakan bahan-bahan alami menjadi pilihan. Pasalnya, ruang pamer di Galeri Batik Kuno Danar Hadi berisi sekitar 700 koleksi kain kuno.

Ratusan batik yang usianya sudah puluhan tahun-bahkan ada yang hampir satu abad-itu butuh perawatan khusus. Untuk menjaga keawetannya, pengelola menghindari penggunaan bahan-bahan kimia.

Kelestarian koleksi adalah mutlak, mengingat nilai historis dan edukatifnya. Berbagai jenis batik dipajang sesuai perkembangan zaman dan lingkungan. Bahkan, perubahan angin politik dan penguasa juga terbaca melalui karya adiluhung ini.

Tahun 1840-1910, berkembang batik Indo-Belanda yang dibuat oleh wanita-wanita peranakan Belanda. Meski pekerjanya orang pribumi yang berasal dari sekitar Pekalongan, namun pola dan warnanya kental dengan pengaruh Belanda-Eropa. Cerita terkenal seperti Putri Salju dan Si Topi Merah ikut mewarnai tema batik.

Kemudian saat pendudukan Jepang, Batik Djawa Hokokai menjadi wujud pengaruh budaya Jepang atas wilayah Jawa. Bunga sakura, misalnya, menghiasi pola kain dipadukan dengan pola tradisional seperti parang, lereng, dan kawung. Batik pada masa itu menunjukkan langkanya kain mori akibat Perang Dunia II dengan munculnya kain pagi sore (satu kain dengan dua pola).

Batik juga menunjukkan identitas pemakainya, dari status sosial hingga tempat tinggal. Batik keraton mengacu pada pola dan warna kain yang dipakai khusus bagi kalangan keraton. Misalnya, pola larangan, seperti parang dan semen yang menggunakan sawat ageng. Jadi, pengguna pola larangan menunjukkan identitasnya sebagai anggota keluarga keraton. Sebaliknya, rakyat biasa, terutama petani, terlihat memakai batik dengan ragam hias yang sesuai dengan alam sekitar, seperti bunga, burung, dan kupu-kupu dengan tetap memakai latar belakang pola batik keraton.

Menurut Kurator Galeri Batik Kuno Danar Hadi, TT Soerjanto, batik yang lebih banyak berkembang saat ini adalah jenis batik Indonesia. Batik ini hasil usaha Presiden Soekarno menyatukan jurang pemisah antara kalangan keraton dan rakyat biasa. KPT Hardjonagoro, yang ditunjuk Bung Karno, menciptakan motif baru yang memadukan pola keraton yang khas dengan warna-warna cerah dari pesisiran.

Memang, batik bagaikan buku harian yang ditulis oleh tangan-tangan terampil perempuan Indonesia. Guratan rumit berpadu proses pembuatan yang panjang menjadi saksinya. Perubahan zaman dan lingkungan terekam di hamparan kain. Ratusan di antaranya dapat dibaca di galeri batik yang selama ini dikunjungi berbagai kalangan, baik domestik maupun mancanegara. (Kompas Jawa Tengah, 24 Februari 2007, Hal H)

Note:
salah satunya karena bikin tulisan jalan-jalan ini jadi mulai lebih memperhatikan n menghargai yang namanya karya batik...lebih dari biasanya yang sekedar menikmati eksotisme corak dan warnanya. Budaya Indonesia memang luar biasa ;P. mari-mari kita semua lebih merhatiin budaya kita biar ga diklaim seenaknya ma bangsa lain....;D

1 komentar:

Heru Sri Kumoro mengatakan...

membaca postinganmu ini, sedikit memunculkan ide. Aku jadi pingin memunculkan sejumlah motif batik yang dari sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Asyikk juga keliatannyaa. Pisssss

salam