“Ke Jakarta” kata-kata yang diikuti tanda panah ke arah barat itu terpampang jelas di atas peron 1 di Stasiun Tawang.
Ke Jakarta adalah tujuan yang biasa aku awali dari stasiun terbesar di Kota Semarang ini. Dua hari kemudian atau seminggu kemudian atau sebulan kemudian atau dua bulan kemudian perjalanan balik kembali diakhiri di stasiun ini.
Ke Jakarta selama ini sekadar tempat yang mengundangku untuk sementara waktu. Tempat belajar, bertemu dan nongkrong dengan teman-teman, serta menikmati kemacetan dan keruwetan Ibu Kota. Menikmati? Yup. Karena selama ini aku tahu persis bahwa kenyamanan Semarang sebagai kota tempatku berproses selama ini masih menunggu.
Tapi, tampaknya pola akan berubah. ”Ke” Jakarta berubah menjadi ”di” Jakarta. Segala hiruk pikuk kota terbesar di negeri ini insyaAllah akan menjadi keseharianku.
Tinggal menghabiskan kalender tahun ini. Menyiapkan diri dengan hal-hal baru sekaligus melihat dan merasakan Semarang—kota yang 28 tahun mengajariku banyak hal—dengan cara yang berbeda.
Dengan menyebut namaMu
Ke Jakarta adalah tujuan yang biasa aku awali dari stasiun terbesar di Kota Semarang ini. Dua hari kemudian atau seminggu kemudian atau sebulan kemudian atau dua bulan kemudian perjalanan balik kembali diakhiri di stasiun ini.
Ke Jakarta selama ini sekadar tempat yang mengundangku untuk sementara waktu. Tempat belajar, bertemu dan nongkrong dengan teman-teman, serta menikmati kemacetan dan keruwetan Ibu Kota. Menikmati? Yup. Karena selama ini aku tahu persis bahwa kenyamanan Semarang sebagai kota tempatku berproses selama ini masih menunggu.
Tapi, tampaknya pola akan berubah. ”Ke” Jakarta berubah menjadi ”di” Jakarta. Segala hiruk pikuk kota terbesar di negeri ini insyaAllah akan menjadi keseharianku.
Tinggal menghabiskan kalender tahun ini. Menyiapkan diri dengan hal-hal baru sekaligus melihat dan merasakan Semarang—kota yang 28 tahun mengajariku banyak hal—dengan cara yang berbeda.
Dengan menyebut namaMu