“Tante, ini cabainya seberapa?,” tanya Tegar sambil menyisihkan cabai-cabai yang menurutnya masih bagus. Tante yang dimaksudnya adalah Bu Syarif, ibu si Ical teman baruku. Di rumah merekalah kemudian aku tinggal selama di Mamuju.
Bu Syarif lalu memberikan petunjuknya, petunjuk penyiapan bumbu-bumbu untuk masakan siang itu. Waktu dua jam istirahat yang diberikan kantornya—salah satu kantor pemerintahan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat—dimanfaatkan untuk menyiapkan makan siang buat keluarga, terutama Bapak Syarif yang kurang menyukai makanan selain masakan sang istri.
Siang itu, Ibu dibantu Tegar dan Ayu—putri terkecilnya yang cekatan. Aku yang semula berniat membantu berubah menjadi pengamat dan penanya yang cerewet tentang apa yang sedang mereka siapkan.
Titik alih itu dimulai saat Ibu meminta Ayu mengambil asam mangga dan merendamnya. Asam mangga? Apa pula itu? Ternyata itu adalah serutan atau potongan tipis memanjang buah mangga yang masih masam. Potongan mangga itu diberi garam lalu dijemur sampai kering. Kalau mau dipakai sebagai bumbu masak, asam mangga direndam terlebih dahulu dengan air. Rasanya lembut dan masam. Kata Ibu, asam mangga inilah yang digunakan di daerah itu untuk memberi rasa masam pada masakan. Di situ tidak lazim menggunakan buah asam seperti di Jawa. Menarik…..
Asam mangga yang air rendamannya sudah dibuang dicampur dengan ulekan cabai merah, merica, dan bawang putih serta irisan onclang dan bubuk kunyit. Tidak berhenti sampai disitu, minyak goreng dituangkan setengah merendam campuran bumbu tadi.
Setelah mengambil semacam panci bertelinga terbuat dari tanah liat, di atasnya Ibu menata beberapa ekor ikan tatombo yang sudah dibersihkan sebelumnya. Bumbu-bumbu tadi disebar di atas ikan-ikan tatombo yang sudah rapi terbaring. Air kemudian dituangkan merendam semuanya dan ditunggu sampai mendidih. Garam sebagai penguat rasa ditambahkan. Setelah ikan dirasa sudah matang dan bumbu telah merasukinya, makanan pun siap.
Ketika aku tanya nama masakan itu, jawab Ibu,”Ini namanya ikan pi api”. Tegar ikut menambahi kalau masakan ikan pi api ini pun bisa memakai ikan bolu (ternyata itu nama lainnya ikan bandeng). Masakan ikan pi api ini menurut Ibu adalah salah satu masakan orang Mandar. Tak heran karena Bapak adalah orang Mandar. Seminggu kemudian seorang teman di Majene bilang masakan ini bisa disebut “bau pe api” artinya ikan direbus.
Ups! Sudah mengisahkan proses pemasakan dan namanya, belum juga menggambarkan rasanya. Hmm…kuahnya segar. Rasa segar yang timbul karena masakan tanpa santan dan asam mangganya tadi. Rasa asam mangga yang menghasilkan kemasaman pencipta segar ini berbeda tingkatnya dengan kemasaman asam Jawa. Coba saja rasakan masakan yang terlalu banyak menggunakan asam Jawa, rasa masamnya bisa mencapai tingkat sangat masam dan meninggalkan rasa kecut di lidah dan tenggorokan. Ini berbeda, mungkin karena masam mangganya sudah diturunkan derajatnya saat pengeringan. Yang jelas…segar! Segarnya kuah juga dihiasi pedas cabai yang menambah kenikmatan.
Itu baru kuahnya. Daging ikan tatombo yang padat terasa gurih saat masuk ke mulut. Ikan segar langsung dari laut—sebelum terkena proses pendinginan—memang terasa lebih gurih. Apalagi, laut asal ikan-ikan inipun bisa dibilang lebih bebas polusi dibandingkan ikan-ikan tangkapan dari Laut Jawa yang menjadi muara banyak bahan pencemar.
Ikan yang enak dan kuah yang segar jelas tidak merusak definisi “nikmat”-nya makanan di perjalanan kuliner yang (diusahakan) selalu terselip dalam setiap perjalananku. Kali ini di Mamuju me-“nikmat”-i masakan Mandar.